Text : Riyan Hadinafta
Menapaki seni, seperti menapaki jalan tanpa batas, seperti berada pada tempat yang tidak dibatasi oleh ruang, bahkan waktu. Seni seakan menjadi kumpulan sejarah, gambaran masa kini, dan visualisasi masa depan tanpa tanding. Semakin diteliti, semakin dalam pula hal yang perlu untuk diketahui. Barier (pembatas) seakan menjadi tabu, karena seni bukanlah sekedar imajinasi.
Berbicara mengenai seni pasti tidak ada habisnya. Membicarakan hal ini seperti berlompatan di antara dinding-dinding analogi, wacana, serta rasa. Seni, entah dalam bentuk apapun. Akan menjadi bagian yang melengkapi hidup. Baik itu lukisan, patung, foto, benda-benda antik, dan sebagainya. Dan berbicara dengan orang yang mengerti seni, akan menjadi pecutan sadis bagi mereka yang tidak sensitif. Bagaimana tidak, ketika saya(Wartawan 69++) berbicara dengan seorang kolektor benda seni dan benda antik Edwin Raharjo, kita seakan dibawa ke dalam percakapan penuh filosofi, penuh imajinasi, dan hasrat untuk dapat mengerti mengenai hidup.
Kolektor yang telah memiliki galeri bernamakan dirinya ini mengumpulkan banyak benda-benda bersejarah dan inovasi masa lampau. Seperti peta abad pertengahan, mobil antik, lukisan, patung-patung, serta berbagai bentuk benda karya para perupa dari dalam dan luar negeri.
Beberapa barang koleksi Edwin memang akan membuat kita berdecak kagum. Sebuah benda berbentuk orang yang sedang menaiki sepeda dengan efek kobaran api dibelakangnya. Benda ini seperti terlihat sedang bergerak dengan kecepatan yang sangat tinggi. Jika dilihat, benda ini akan mengingatkan kita akan patung kuda yang terdapat di seberang bundaran Bank Indonesia. Benda ini diperolehnya dari seorang perupa ternama asal Bali, Nyoman Nuarta. Di seberang benda ini ada pula patung seorang pemuda yang sedang mengecat dinding. Jika tidak diperhatikan secara seksama, anda akan mengira bahwa itu bukanlah patung. Karena bentuk dan penampakannya yang sangat alami dan detail.
Selain itu, kumpulan peta gambaran pulau-pulau yang dibuat pada abad pertengahan digantung memenuhi ruangan galeri miliknya yang berada di kawasan Kemang Jakarta Selatan. Peta itu terdiri dari peta Asia Tenggara, Amerika dan beberapa peta benua Eropa dan Afrika. Disamping itu, Edwin juga mengumpulkan beberapa jenis mobil sport antik.
“Saya lupa kapan tepatnya saya mulai mengumpulkan benda-benda ini. Mungkin karena saya terlalu menikmatinya”. Katanya sambil tertawa. Kesukaan terhadap seni memang sulit dijelaskan kenapa, dan bagaimana. Karena seni adalah sesuatu yang tidak bisa diukur.
Perburuan Edwin akan barang-barang koleksinya pun dijelajahinya sampai ke seluruh nusantara dan Negara lain, seperti Ingrris, Prancis dan negara-negara eropa lainnya. Seperti Peta kuno miliknya karya Yansonius, Dewit, dan De Bry yang diperolehnya langsung di Negara aslinya yaitu Belanda.
Edwin mengagumi seni. Kekaguman itupula yang memberi berkah baginya dalam menjalani hidup. Benda benda seni mengajarkannya bagaimana melihat-hal-hal yang tidak kasat mata. Hal-hal yang lebih esensial dan imajinatif. “Benda seni itu adalah bagian sejarah. Sejarah mengenai inovasi, sosial, budaya dan banyak lagi. Jadi, dengan melihat, mengagumi, dan memiliki benda-benda seni saya seperti dibawa ke batas waktu yang tidak terkira. Dan seni pula yang mengajarkan kita berimprovisasi. Jadinya hidup ini jauh terasa lebih berharga untuk di jalani”.
Bagi orang seni, sebuah benda memang bukan hanya sekedar benda. Setiap hal yang ada di muka bumi adalah bagian dari rangkaian hidup semesta yang memiliki arti dan fungsi. Dan setiap benda juga merupakan terobosan-terobosan pada jamannya. Terobosan yang menjadi langlah untuk berkembang menjadi terobosan-terobosan yang lebih baru.
Edwin sendiri juga memiliki latar belakang pendidikan di bidang seni. Ia pernah menuntut Ilmu di Liberal Arts Major, Lasalle College USA. Dan beberapa pendidikan formal seni lainnya juga di jajakinya di negeri Paman Sam tersebut.
Sejak tahun 1986, dengan koleksi benda seni dan antik yang cukup banyak ia mulai berani membuka galeri pribadi miliknya. Galeri tersebut awalnya dibuka di garasi rumah milik ayahnya di jalan Sisingamangaraja, Jakarta. Setelah dua tahun, ia kemudian memberanikan diri untuk membeli sebuah rumah di bilangan Kemang Jakarta Selatan. Rumah yang berarsitektur kuno itu disulapnya menjadi sebuah galeri dengan konsep gabungan antara tradisional dan modern. Berbagai pelukis dan perupa telah mempercayakan galeri miliknya untuk dijadikan tempat memamerkan karya mereka.
“Dari awal sejak saya berkeliling Indonesia dan dunia untuk mengumpulkan barang-barang antik ini memang saya tidak sekedar berhubungan antar kolektor dan penjual saja. Akan tetapi saya tetap menjaga komunikasi hingga sekarang. Sehingga jaringan saya di bidang ini semakin bertambah dan bertambah. Itu pula yang mungkin membuat para seniman itu percaya. Karena mereka tentu saja tidak sembarangan memilih galeri untuk pameran mereka. Apalagi pameran Internasional”.
Jika dihitung-hitung memang tidak sedikit para seniman terkenal, baik dari dalam maupun luar negeri yang menjadikan galeri miliknya sebagai ajang eksebisi. Sebut saja, Affandi, Nyoman Nuarta, Sigit Santoso, Bambang Wicaksono, dan seniman asal Cina yang baru-baru ini memamerkan lukisannya yang bertajuk floating emotions Tang Shu, serta puluhan lainnya.
Saat ini seni bagi Edwin bukan hanya sekedar menjalani hobi. Akan tetapi ternyata dari hobi itu pula yang memberinya keuntungan dari segi financial. Galeri yang sudah memiliki nama yang cukup baik di mata internasional itulah yang terus dijalankannya.”Konsistensi adalah kunci penting kesuksesan. Dalam hal apa saja, konsistensi itu mutlak diperlukan. Di samping itu tentu saja kecintaan kita terhadap apa yang kita lakukan. Karena jika kita sudah menyukai pekerjaan yang kita geluti, apapun akan terasa lebih mudah. Apapun akan terasa lebih menyenangkan. Jadi, kita bukan hanya melakukan pekerjaan yang hanya sekedar pekerjaan. Atau melakukan sesuatu karena kita harus melakukannya”, Ujarnya. Krisis global yang melanda memang sangat dirasa berpengaruh terhadap omset galeri miliknya. Akan tetapi hal tersebut tidak menjadi penghalang yang sangat berarti. Berpuluh-puluh tahun menggeluti bidang ini tentu saja memberikan segudang pengalaman yang mampu membuat Edwin masih bisa berjalan mulus di tengah himpitan badai krisis.
“Saya memulai ini (bisnis di bidang galeri-red) tentu saja dengan pertimbangan yang sangat matang. Bukan hanya sekedar ingin atau coba-coba. Lagi pula pengalaman selama 24 tahun tentu saja banyak memberikan pelajaran bagaimana menghadapi masalah-masalah yang akan terjadi di depan”.
“Seni tidak akan mati”. Begitu kata Edwin. Seni juga berasal dari inspirasi serta ide si seniman. Itulah yang membuat seni tidak ada ukurannya. Seberapa besar kemampuan orang untuk meniru ide tersebut, tapi orisinalitas seni tak akan tergantikan ampuhnya. Imajinasi tak akan ada harganya, tambahnya pula.
Baginya seni yang mengajarkan manusia untuk mengerti arti hidup. Seni adalah gambaran hidup itu sendiri. Gambaran hidup dengan media yang amat berbeda. Akan tetapi ia paralel dengan dunia itu. Kerumitan seni menggambarkan kerumitan hidup, keindahan seni juga merepresentasikan keindahan dunia. Suatu karya seni dibuat bukan hanya untuk dinikmati oleh si seniman, tetapi juga harus bisa dinikmati oleh orang lain yang melihatnya. Begitu juga dengan hidup. Hidup bukan hanya sekedar dijalani dan nikmati. Akan tetapi, dalam hidup juga ada tanggung jawab terhadap lingkungan. Begitulah Edwin berfilosofi.
“Hidup ini cuma sementara, jadi harus bisa dihayati dan dihargai. Disamping itu kesadaran akan hak dan kewajiban serta menjunjung tinggi etika, akan membawa bangsa ini bangkit dari jurang keterpurukan”. Harap Edwin.
0 komentar:
Posting Komentar