Spiga

Dari kaki Lima Menjadi Restoran

Text & Foto by : Normansyah

Nasi Uduk Mas Miskun, mungkin bukan nama yang asing lagi bagi warga Jakarta dan sekitarnya,mulanya rumah makan ini masih berupa tenda kaki lima di jalan Kramat, Jakarta Pusat, Namun kini warung tenda ini sudah ‘naik pangkat’ menjadi Rumah Makan Nasi Uduk & Ayam Goreng Mas Miskun, yang gerainya sudah menyebar ke beberapa tempat. Pelanggannya pun beragam, mulai dari masyarakat strata bawah sampai strata atas. Maklum, kualitas rasanya kelas restoran namun harganya kaki lima. Maka siapa pun berkesempatan untuk menikmati lezatnya nasi uduk ini, mulai dari rakyat sampai pejabat. Pelanggannya terdiri dari pejabat negara, politikus, dan beberapa selebritas yang sering muncul di layar kaca.
Tapi jangan bayangkan usaha itu selalu berjalan mulus. Sebagaimana umumnya nasib PKL (Pedagang Kaki Lima) di Jakarta dan kota-kota besar lain di Indonesia, warung Mas Miskun dahulu kerap digusur berkali-kali. "Sudah tidak kehitung, ada kali enam kali kami digusur," kata Hj.Aminah tentang warung tenda yang di Jalan Kramat Raya, ia jadi tahu banyak cara untuk menghadapai aparat sehingga warungnya bertahan, tahun 2004 ia tidak bisa lagi mengelak, pemerintah kota Jakarta Pusat saat itu punya proyek pembangunan pedestrian senilai Rp 5 miliar di sepanjang Jalan Kramat Raya dan Salemba. Semua PKL, tanpa kecuali, digusur. Namun bagi Hj.Aminah, penggusuran itu justru menjadi semacam a blessing in disguise. Dalam kebingungan, ia mendapat tawaran untuk menyewa lahan kosong di Jalan Kramat Raya, persis di belakang lokasi tendanya selama ini. Mas Miskun tinggal mundur sejengkal dari jalan raya lalu menempati lahan privat. Warung pindah tetapi tidak kehilangan pelanggan. Seketika itu, Mas Miskun juga berubah wajah dari kaki lima menjadi sebuah restoran meski dengan meja dan tata ruang seadanya.

Menurut Hj.Aminah, usahanya "berkembang karena kepepet atau keterpaksaan". Keterpaksaan itu terjadi berulang. Dari gusuran ke gusuran. Belakangan kasus flu burung merebak. Akibat kasus flu burung, penjualan ayam goreng Mas Miskun anjlok hingga tinggal 40 persen per hari. "Sebelum ada kasus flu burung, sehari kami bisa menjual 100 sampai 150 ekor ayam. Begitu flu burung muncul, kami pernah hanya menjual 40 ekor ayam sehari," kata Hj.Aminah. "Saya kemudian berpikir," lanjutnya "untuk membuat variasi menu." Ia tidak ingin terpaku pada ayam goreng semata. Beberapa saat kemudian muncullah beragam menu baru yang berbasis ikan. Ada sop ikan, ikan bakar, ikan goreng sampai ikan dipepes. Lalu ada sayur asem, soto garang ceker, aneka lalapan dan sambal. Kalau semula hanya mengandalkan sambal goreng, sekarang ada sambal tomat, sambal kecap, sambal kacang, bahkan sambal mangga yang rasanya asam-kecut.
Dari perjalanan panjang itu, Aminah kini telah membuka enam restoran, empat lokasi tersebar di Jakarta, dua di kawasan Tajur Bogor dan Cipayung PuncakJawa Barat. Banyak orang yang mengira Mas Miskunlah si pemilik restoran tersebut. Padahal, menurut Aminah, nama Mas Miskun diambil dari gabungan tiga kata. Yakni, mas (perhiasan emas, red), mis berarti wangi (minyak wangi arab, red), dan kun dari kata kun fayakun. Jadi, Mas Miskun bermakna agar usaha ini seperti emas dan tetap harum bagi penikmatnya.

0 komentar: