Spiga

The Power Of Creativity

Text by : Faisal Hamid

Pria kelahiran Tanah Bugis Sengkang, Wajo, Sulawesi Selatan, 27 Desember, 42 tahun silam ini memulai karirnya di dunia jurnalistik sejak tahun 80-an dengan menjadi penulis lepas ( freelance ) di sejumlah media cetak. Ia bergabung secara resmi di sebuah harian umum, kemudian berpindah ke sebuah tabloid mingguan dengan jabatan terakhirnya yaitu redaktur pelaksana. Kemudian pada tahun 1981 ia datang ke Jakarta dengan mengawali aktivitasnya sebagai pekerja seni dan teater, serta membintangi sejumlah sinetron dan film. Seniman yang benama lengkap H. Egy Massadiah ini hampir setiap tahunnya menjadi produser film dan juga berprofesi anggota Teater Mandiri pimpinan Putu Wijaya yang kerap pentas di mancanegara. Di samping itu pun, ia pernah menjadi wartawan selama 10 tahun di sejumlah media cetak, dengan jabatan terakhir redaktur senior di Tabloid Wanita Indonesia.

Pria yang akrab di panggil Egy ini, menghabiskan masa kecilnya di kota Sengkang yang berjarak ± 4 jam dari kota Makasar. Egy sangat aktif dalam kegiatan-kegiatan di sekolahnya, seperti, Pramuka, olahraga, dan karate. Ketika orang tuanya dipindah tugaskan ke Makasar, Egy pun ikut dipindahkan sekolahnya ke SMP 6 Makasar yang kebetulan cukup terkenal di kota Makasar. Kemudian di SMP 6 Makasar inilah Egy mulai berulah, dengan kenakalannya itu justru membuatnya mendapat peringkat 1 di kelasnya dan bahkan ia sempat mewakili cerdas cermat di televisi untuk tingkat kabupaten. Dan akibat kenakalannya pula, salah seorang caleg ini diberhentikan dari sekolahnya karena sering bolos sekolah. Ketika seniman ini menamatkan sekolahnya ia langsung merantau ke Jakarta untuk melanjutkan sekolah di Muhammadiyah Kramat dan juga akibat kenakalannya, ia-pun dipindahkan lagi ke Muhammadiyah Pejompongan, dan itupun tidak diselesaikan di Jakarta. Kemudian ia melanjutkan kembali sekolahnya di SMA HDI Makasar hingga tamat.

Ketika ditanya wartawan 69++ di kantornya di Jl. Gaharu Terusan I/5A, Cilandak Barat, pada waktu masih sekolah dan kuliah dulu Egy sering berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain. Pendidikan formalnya tidak begitu bagus, tetapi strategi berdebatnya boleh diadu dengan orang yang sudah sarjana sekalipun. “Sekolah itu adalah bagaimana melaksanakan kewajiban supaya membuat orang tua senang. Kehidupan ini bisa teratur kalau kita pintar membacanya, ini adalah melebihi sejumlah SKS yang juga kita temukan di dalam perkuliahan. Pendidikan itu perlu, agar bagaimana cara berfikir kita terstruktur, karena sekolah mengajarkan kita bagaimana membaca yang benar dan berdisiplin. Sementara ilmu-ilmu yang didapat oleh seniman ini lebih banyak didapat dari jalanan”, ungkapnya.

Dalam bidang tulis menulis, Egy sempat memenangkan lomba penulisan essay Diplomasi Kebudayaan Indonesia-Amerika dalam rangka KIAS pada tahun 1987 serta menulis sejumlah buku, antara lain Srikandi, Sejumlah Wanita Indonesia, Top Eksekutif Indonesia, dan Top Pengusaha Indonesia.

Di sela kesibukan jurnalistiknya, ia juga menulis cerpen, puisi, dan essay. Mengingat Egy bergabung ke Teater Mandiri pimpinan Putu Wijaya. Dari sinilah awal perkenalannya dengan dunia akting yang hingga akhirnya membuatnya membintangi beberapa film layar lebar seperti Pernikahan Dini, Kabut Perkawinan dan Zig Zag, serta sinetron diantaranya Rumah Masa Depan (TVRI), Abad 21, Kerinduan, Intrik, dan lain sebagainya. Egy yang juga berprofesi sebagai seniman ini lebih banyak bergaul di kehidupan nyata seperti menulis dan teater. Di usia 17 tahun, seniman ini sudah mulai mengirim tulisannya ke media cetak serta ikut dalam lomba penulisan. “Waktu itu saya mulai menulis walaupun korannya ecek-ecek, hanya memperoleh honor Rp. 3.000-Rp. 5.000, tetapi kalau menulis di Koran Kompas contohnya bisa sampai memperoleh honor Rp. 75.000. Dan pada waktu itu, saya juga hobi nongkrong di TIM menunggu panggilan untuk menjadi figuran yang honornya Rp. 5.000”, ceritanya sambil tertawa.

Egy Massadiah, salah satu sosok orang Bugis yang menjadi anggota Teater Mandiri sejak 1983 dan hingga kini masih tetap anggota Teater Mandiri meskipun sudah berprofesi sebagai eksekutif muda yang berhasil serta menjadi calon anggota legislatif DPR RI Partai Golkar No. urut 5, Daerah pemilihan DKI Jakarta II (Jakarta Selatan, Jakarta Pusat dan Luar Negeri).

Sebagai anggota Teater Mandiri, Egy kerap tampil dalam beberapa pergelaran Internasional, diantaranya yaitu New York, Seattle, Connecticut, California, Amerika Serikat, Singapura, Hongkong, Jepang, Taiwan, dan Kairo. Egy berjanji, jika ia duduk di DPR nanti ia akan lebih banyak memperjuangkan kepentingan para seniman. Ia ingin pemerintah membangun lebih banyak gedung kesenian, tempat-tempat pementasan dan ruang berekspresi bagi seniman. "Saya ingin para seniman lebih dihargai, baik secara materiil maupun moril dan melalui DPR saya ingin lebih bisa berperan dalam meningkatkan kualitas seni Indonesia dan meningkatkan harkat serta martabat para seniman. Saya memilih Partai Golkar sebagai kendaraan politik saya, karena Partai Golkarlah yang memiliki perhatian dan kepedulian terhadap kesenian dan nasib para seniman," ungkapnya.

Ambisi Egy untuk menjadikan teater sebagai wadah yang mengolah generasi muda Indonesia untuk siap pakai dalam membangun Negara Kesatuaan Republik Indonesia (NKRI) yang baru dan menjadi hal yang menarik. Kehidupan dan negara sendiri adalah sebuah panggung teater yang membutuhkan pekerja-pekerja yang ulet, setia dan terlatih. Tak hanya cerdas, tetapi juga bijak, gesit dan memiliki kepekaan yang tinggi pada kemanusiaan.

“Teater yang mencakup hampir seluruh cabang kesenian dan mencakup berbagai aspek dari disiplin ilmu lain ini (psikologi, filsafat, sejarah, politik, hukum, dan bahkan ekonomi) akan menjadi bengkel pelatihan bukan saja bagi mereka yang ingin menjadi pekerja teater, tetapi bagi seluruh kemungkinan profesi dari kelas pekerja maupun pemimpin”, jelas pengusaha di bidang IT dan production house yang menggarap PSA, documentary film dan film layar lebar ini.

“Bila saja saya diberi kesempatan dan berhasil konsisten dengan mimpinya yang indah dan menyala-nyala ini, kita mungkin dapat sedikit menolong menyelamatkan generasi muda dari jilatan neraka kehidupan yang terjulur dari liang NARKOBA. Dan itu tentunya akan terjadi jika kita memberi kesempatan sekaligus menjaga langkah-langkah mereka agar tidak terjerumus ke arah yang keliru, mengingat dunia politik memiliki seribu peta buta”, tandasnya.

Setelah merelease film “Lari Dari Blora,” yang menceritakan tentang kehidupan masyarakat Samin, yang dibintangi W. S Rendra pada Februari 2008 lalu, Wakil Bendahara Lembaga Pengelola Kader (LPK) DPP Partai Golkar ini kini tengah mempersiapkan diri untuk menjadi calon anggota DPR/RI.

Lepas dari dunia jurnalistik, pada awal tahun 2000-an ia banting setir ke dunia bisnis dengan mendirikan perusahaan yang bergerak di bidang teknologi informasi dan bidang periklanan. Selain itu, salah seorang pengusaha informasi teknologi (IT) ini pun juga ingin lebih memperhatikan dunia kesenian.

Calon anggota DPR/RI ini mengatakan ketidaksukaannya dengan pemuda yang berbicara di depannya bercerita tentang kepedihan/kepahitan hidup. Tak heran maka ia akan lantas jengkel melihat anak muda yang sering mengeluh tanpa mau berusaha, apalagi jika mengeluh masalah lapar/belum makan. Pria yang kini tinggal di Saraswati, Cipete, Jakarta Selatan ini menceritakan ketika ia tinggal di Cempaka Putih beberapa waktu lalu, jika belum makan, seniman ini akan berusaha bagaimana caranya agar bisa makan. Seperti contohnya, pada malam hari ia tidak segan-segan menunggu tukang bakso yang lewat pada pkl 00.00 dan mengingat pada waktu itu di pinggir kali tempat ia tinggal ada orang yang menanam sayuran, maka tak segan-segan pula saya minta baik-baik kepada yang menanamnya agar diberi 3-4 lembar sayuran, kemudian tanpa pikir panjang sayuran tersebut langsung saya siram dengan kuah bakso. Disinilah seniman bisa makan. Inilah pengalaman hidup yang sampai sekarang tidak ia lupakan.

Ada satu perjalanan lagi yang tak terlupakan dari caleg ini sepanjang perjalanan hidupnya, yaitu pada sekitar tahun 1983-an, Egy berpikir bagaimana cara mencari uang untuk mencari sesuap nasi. Ketika ia berjalan di Jl. Wahid Hasyim, Tanah Abang dan disitu juga ia melihat salon yang barang siapa orang tersebut mambawa orang yang mau memotong rambutnya di salon itu akan dibayar sebesar Rp. 500/orang dikarenakan Rudi Hadi Suharno pemilik salon tersebut sedang dalam proses pembelajaran. Disinilah Egy pada waktu itu bisa makan di warung tegal (warteg) yang waktu itu harga nasi dan lauk seporsinya Rp. 75.

Prinsip caleg ini adalah jika ada pekerjaan apapun jenisnya akan dikerjakan dengan sungguh-sungguh dan selalu positive thinking. “Contohnya tukang sapu jika kerjanya sungguh-sungguh, maka ia akan menjadi tukang sapu yang baik,” cetusnya.

“Sejauh ini, kendala yang saya hadapi adalah komentar-komentar orang, yang kerap mereka kirim melalui facebook, bertuliskan “dasar caleg perampok”. Saya hanya bisa mengucapkan terima kasih atas komentarnya dan salam persaudaraan bagi kita semua. Kita harus menghargai perbedaan pendapat karena bisa jadi ia berkata seperti itu karena ia memang tidak mengetahui sesuatunya, karena kurang pahamnya ia akan sesuatu itu, tetapi sok paham. Saya mencoba menerima ini, karena memang saya ingin bergaul dengan semua orang dari orang-orang partai lain sekalipun, tidak berteman dengan orang Golkar saja”, paparnya.

Calon anggota legislatif DPR RI Partai Golkar No. urut 5, Daerah pemilihan DKI Jakarta II (Jakarta Selatan, Jakarta Pusat dan Luar Negeri) ini ketika ditanya mengenai latar belakang politiknya, ia mengatakan tidak mempunyai latar belakang politik, pada dasarnya ia adalah seorang seniman, seorang penulis, akan tetapi saya meyakini bahwa instrumen politik ini memerlukan sejumlah pemikiran yang berbeda latar belakang. Terkadang ada sesuatu yang memang sudah semestinya dibuat praktis saja. Karena ada keterpanggilan itu juga, sama seperti agama mengatakan bahwa “sebaik-baiknya manusia adalah saat dia bisa bermanfaat lebih banyak untuk orang lain”. Saya bertekad untuk menjalankan misi politik dengan hati yang bersih dan tulus.

Ini adalah bentuk keperihatinan kita sebagai masyarakat yang peduli dengan kesenian yang ada di negeri ini, mengingat teater sebenarnya adalah ilmu kesenian yang paling tinggi, akan tetapi di sisi lain teater ini juga merupakan kesenian yang paling miskin. Dahulu, Egy semapt latihan selama 4 bulan bersama Dewi Yul, Dono (alm), dan Warkop. Selama 3 bulan kami latihan tiap malam sampai pukul 2 malam dan hanya malam minggu saja liburnya, honor yang kami peroleh hanya sebesar Rp.50.000, that’s not a big deal! Karena kita memang mengabdi.

Untuk Teater Mandiri ini, berbeda dengan Teater Koma. Pertunjukkan Teater Koma penontonnya selalu penuh, tetapi ketika Teater Mandiri mengadakan pertunjukkan, yang menonton hanya 10 orang, lain dengan di Amerika, Hongkong, Jepang dan Kairo, dimana terdapat banyak penonton ketika kami tampil. Untuk sementara ini, teater memang belum bisa menghasilkan uang yang menjanjikan bagi para pekerjanya, pekerjanya harus berusaha melakukan cara lain, seperti ikut shoting, menjadi kru film, baru bisa menghasilkan uang lebih.

Teater ini sebenarnya adalah ruang untuk mengajarkan orang bagaimana berhubungan dengan orang lain dan menghormati orang lain. “Saya sangat peduli dengan persoalan ini dan negara juga harus peduli dengan persoalan ini, karena dunia teater ini kecil, tetapi memiliki isu yang besar, bayangkan saja jika ada kehidupan teater di RT maupun RW yang maju, dimana saya yakin sedikit demi sedikit kita bisa menolong generasi muda dari persoalan Narkoba. “Kira-kira seperti ini dan mungkin negara harus tetap memberi teladan yang baik, sebagai contoh di sebuah RT, beberapa anak gadisnya belajar menari, honor guru tarinya misal sebesar Rp 500.000, dari negara bantulah Rp. 250.000 dan sisanya patungan”, kenangnya sambil tersenyum.

0 komentar: